Pendahuluan
Seluruh rakyat Indonesia sangat
mendambakan segera terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang maju,
adil-makmur, damai, dan berdaulat. Kita bersyukur bahwa di tengah krisis
ekonomi global sejak 2008, Indonesia termasuk sedikit negara di dunia yang perekonomiannya
tetap tumbuh positif. Tahun lalu pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,4
persen, inflasi rendah dan terkendali, cadangan devisa mencapai 119 miliar
dolar AS (terbesar sepanjang sejarah negeri ini), dan untuk pertama kalinya
Indonesia dinilai oleh lembaga pemeringkat dunia (Fitch Rating, 2011) sebagai
negara yang layak investasi (investment grade). Disamping itu lembaga kajian Mc
Kinsey Global Institute pada tahun 2012 menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia
akan menempati posisi ketujuh dunia mengungguli Jerman dan Inggris pada 2030.
Namun di balik gemilangnya prestasi
makroekonomi itu, kehidupan keseharian mayoritas rakyat Indonesia masih didera
oleh beragam penderitaan fisik maupun kejiwaan. Dengan garis kemiskinan Rp
234.000/orang/bulan, BPS mencatat banyaknya penduduk yang hidup di bawah garis
kemiskinan pada September 2012 sebesar 28,59 juta orang atau 11,6 % dari total
penduduk (BPS, 2012). Dan, jika mengacu pada garis kemiskinan versi Bank Dunia,
yakni 2 dolar AS/orang/hari (sekitar Rp 540.000/orang/bulan), maka jumlah
penduduk miskin Indonesia mencapai 117 juta orang. Artinya hampir separuh
rakyat Indonesia masih hidup bergelimang kemiskinan. Dalam
pada itu, jumlah pengangguran terbuka dan pengangguran terselubung pun masih
begitu besar, yakni sekitar 7,24 juta (Agustus 2012) dan 34 juta orang. Selain
itu, Indonesia juga merupakan salah satu negara penghutang terbesar di dunia
(213,5 miliar dolar AS, The World Bank 2012 dalam suara merdeka, 27/12/2012)
Muara (resultante) dari segenap permasalahan
sosial-ekonomi riil diatas adalah rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (Human
Development Index) Indonesia yang hanya menempati urutan-124 dari 187 negara
yang disurvei (UNDP, 2011). Sekedar perbandingan, negara-negara tetangga seperti
Singapura bertengger pada urutan-26, Malaysia-61, Thailand-103, dan
Philipina-112. Sedangkan, urutan-1 diraih Norwegia, AS-4, dan Korea Selatan-15.
Potensi Ekonomi Laut Indonesia
Indonesia belum mempunyai visi pembangunan yang tepat dan benar
serta dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan. Visi pembangunan
Indonesia sejak zaman penjajahan hingga sekarang sangat dominan berorientasi
darat. Padahal, Indonesia merupakan negara maritim dengan 75% wilayahnya laut.
Akibatnya, ekonomi Indonesia menjadi kurang efisien dan rendah daya saingnya.
Indonesia sebagai negara kepulauan
terbesar di dunia yang memiliki 13.466 pulau besar dan kecil dengan luas laut 5,8
juta km² termasuk ZEEI dan dikelilingi
oleh 95.181 km garis pantai memiliki posisi geoekonomi yang sangat strategis,
dimana 45% dari total barang dan komoditas yang diperdagangkan di dunia dengan
nilai 1.500 triliun dolar AS setiap tahunnya dikapalkan melalui wilayah laut
Indonesia (UNCTAD, 2010). Selain akses kepada pasar global yang mudah dan
terbuka lebar bagi segenap produk dan jasa nasional kita, Indonesia juga
semestinya menjadi penentu dan penerima manfaat terbesar dari sektor
transportasi laut. Celakanya, sejak 1987 sampai sekarang, Indonesia terus
menghamburkan devisa rata-rata 18 miliar dolar AS per tahun untuk membayar jasa
armada kapal niaga pengangkut asing (INSA, 2011).
Industri-industri berbasis sumberdaya
alam dan jasa-jasa lingkungan kelautan Indonesia dapat dibagi ke dalam sebelas
sektor utama yaikni, perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan
hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, pariwisata bahari,
pertambangan dan energi, perhubungan laut, industri dan jasa maritim,
pulau-pulau kecil, sumberdaya non-konvensional seperti deep sea water
industries, hydrothermal vents, dan harta karun di dasar laut.
Potensi nilai total ekonomi kesebelas
sektor kelautan Indonesia tersebut diperkirakan mencapai 1 triliun dolar AS (Rp
9.300 triliun) per tahun atau lebih dari enam kali lipat APBN 2013. Kesempatan
kerja yang dapat dibangkitkan juga sangat besar, yaikni sekitar 40 juta orang.
Karenanya, bila kita mampu mendayagunakan potensi ekonomi kelautan secara
produktif dan efisien, maka masalah pengangguran dan kemiskinan otomatis akan
terpecahkan.
Potensi produksi lestari ikan laut
Indonesia yang dapat dimanfaatkan melalui usaha perikanan tangkap sebesar 6,5
juta ton/tahun, sekitar 8% dari total potensi produksi lestari ikan laut dunia
(90 juta ton/ tahun). Kurang lebih 24 juta ha perairan laut dangkal Indonesia
cocok untuk usaha budidaya laut ikan kerapu, kakap, baronang, kerang mutiara,
teripang, rumput laut, dan biota laut lainnya yang bernilai ekonomis tinggi,
dengan potensi produksi sekitar 42 juta ton/tahun. Namun, hingga tahun 2011
kita baru memanfaatkan potensi budidaya laut ini sebesar 4,6 juta ton (10,95%).
Lahan pesisir yang sesuai untuk usaha budidaya tambak udang, bandeng, kerapu,
nila, kepiting, rajungan, rumput laut, dan biota perairan lainnya diperkirakan
lebih dari 1,2 juta ha dengan potensi produksi sekitar 10 juta ton/tahun (KKP,
2012). Secara potensial, nilai ekonomi total dari produk perikanan dan produk
bioteknologi kelautan Indonesia diperkirakan sekitar 82 milyar US$ per tahun.
Sementara itu, hampir 70% produksi
minyak dan gas bumi kita berasal dari kawasan pesisir dan laut. Berdasarkan
data geologi diketahui Indonesia memiliki 60 cekungan potensi yang mengandung
minyak dan gas bumi. Dari 60 cekungan tersebut, 40 cekungan terdapat di lepas
pantai, 14 berada di pesisir dan hanya 6 saja yang berada di daratan. Dari
seluruh cekungan tersebut diperkirakan mempunyai potensi sebesar 11,3 miliar
barel yang terdiri atas 5,5 miliar barel cadangan potensial dan 5,8 miliar
barel berupa cadangan terbukti. Selain itu diperkirakan cadangan gas bumi
adalah 101,7 triliun kaki kubik yang terdiri dari cadangan terbukti 64,4
triliun dan cadangan potensial sebesar 37,3 triliun kaki kubik. Tentu untuk depat mengeksplorasi dan mengeksploitasi potensi migas di
pesisir dan lepas pantai ini kita membutuhkan teknologi di bidang kemaritiman,
seperti bangunan lepas pantai, drillship, pipe laying vessel, FSO,
FPSO, FLNG, dan teknologi lainnya. Indonesia harus mandiri untuk dapat
memanfaatkan potensi migas negaranya sendiri, tidak seperti kondisi yang
sekarang terjadi, yaikni begitu besarnya penguasaan perusahaan asing pada
sumber daya alam Indonesia.
Potensi ekonomi bisnis jasa
perhubungan laut diperkirakan sekitar 14 milyar US$ per tahun. Ini berdasarkan
pada perhitungan bahwa sejak 15 tahun terakhir kita mengeluarkan devisa sekitar
14 milyar US$ untuk membayar armada pelayaran asing yang selama ini mengangkut
97% dari total barang yang diekspor dan diimpor ke Indonesia dan yang
mengangkut barang yang dikapalkan antar pulau di wilayah Indonesia. Potensi
ekonomi ini akan menjadi lebih bermakna dan bernilai strategis, seiring dengan
kenyataan bahwa pusat kegiatan ekonomi dunia sejak akhir abad-20 yang telah
bergeser dari Poros Atlantik ke Poros Asia-Pasifik. Hampir 70% total
perdagangan dunia berlangsung diantara negara-negara di Asia-Pasifik. Lebih
dari 75% dari barang-barang yang diperdagangkan ditransportasikan melalui laut
dengan nilai sekitar 1.300 trilyun US$ setiap tahunnya.
Segenap potensi ekonomi kelautan yang
dimiliki Indonesia, tidak hanya mampu mengeluarkan bangsa ini dari persoalan
kemiskinan dan pengangguran, tetapi juga dapat menghantarkan Indonesia menjadi
bangsa yang maju, adil-makmur, dan bermartabat. Kinerja sektor-sektor ekonomi
kelautan seperti yang diuraikan di atas hanya mungkin terwujud, apabila
kebijakan politik-ekonomi (seperti fiskal-moneter, hukum, keamanan, otonomi daerah,
infrastruktur, dan ketenagakerjaan) bersifat kondusif bagi tumbuh-kembangnya
ekonomi kelautan.
Jembatan
Selat Sunda dalam MP3EI
Kawasan Strategis Nasional (KSN) Selat
Sunda merupakan 1 dari 22 kegiatan ekonomi utama yang ingin didorong realisasi
investasinya sesuai dengan Inisiatif Strategis Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Manfaat yang ingin dicapai
dengan pengembangan KSN ini adalah: mengembangkan kawasan industri baru,
mempercepat perkembangan pulau Sumatera, mengurangi sentralisasi ekonomi di
pulau Jawa, dan menciptakan kesempatan kerja. Dalam rangka pengembangan KSN
tersebut, pemerintah ingin menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera dengan
Jembatan Selat Sunda (JSS).
Meninjau pengembangan KSN untuk
mengembangkan kawasan industri baru, mempercepat perkembangan pulau Sumatera,
dan mengurangi sentralisasi ekonomi di pulau Jawa dengan pembangunan JSS, kami
menganggap bahwa solusi yang lebih tepat untuk mengintegrasikan pulau Jawa dan
pulau Sumatera adalah dengan menggunakan kapal. Alasan kami adalah karena
teknologi kapal adalah teknologi yang well learned dan well proven karena sudah
banyak kapal yang dibuat oleh galangan nasional. Ditambah insinyur-insinyur
perkapalan yang sudah berpengalaman puluhan tahun dalam mendesign dan membangun
kapal baik lulusan dalam negeri maupun luar negeri seperti Rusia, Inggris,
Kanada, Amerika, Jepang, Taiwan, dll.. Transfer ilmu pengetahuan dengan negara
luar juga sangat mudah dilakukan mengingat kondisi perairan selevel Selat Sunda
sudah sangat dikuasai karena mereka biasa membangun kapal untuk berlayar di
perairan yang lebih ganas seperti North Atlantic dan lainnya.
Permasalahan yang terjadi adalah
pemerintah seakan menjadikan pembangunan JSS sebagai satu-satunya cara untuk
menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera. Pemerintah kurang melihat potensi
galangan dan SDM kemaritiman nasional. Padahal, sebagai negara maritim kita
sejatinya harus mengembangkan teknologi
kemaritiman untuk memanfaatkan sumber daya kelautan kita yang melimpah.
Masalah kemacetan yang terjadi hingga
di jalan tol menuju ke Pelabuhan Merak sudah banyak kita lihat di TV sejak
beberapa tahun yang lalu. Pemerintah seakan menunda hingga sampailah
pembangunan JSS sebagai satu-satunya opsi yang ada. Berdasarkan pengamatan
langsung saat mudik lebaran kemarin, jumlah dermaga di pelabuhan Merak hanya 4
yang dapat digunakan. Ini tidak sebanding dengan jumlah 12 kapal yang dapat
berangkat bersamaan. Dengan kondisi tersebut, kapal harus mengantri untuk
berlabuh. Padahal, rencana pembenahan 138 pelabuhan di seluruh Indonesia untuk
menyambut impor 2500 kapal oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN)
yang akan dilakukan pemerintah hanya menelan dana 5 triliun rupiah. Jumlah
tersebut tentu lebih dari cukup untuk pembenahan Pelabuhan Merak dan Bakauheni
saja. Insinyur dan 250 galangan yang ada di Indonesia pun siap bila diminta
untuk membuat kapal yang lebih modern dengan kecepatan yang diinginkan. Langkah
ini tidak akan menelan dana hingga 200 triliun rupiah seperti JSS dan sudah
dapat diselesaikan beberapa tahun yang lalu. Namun, kembali lagi pemerintah
seakan menjadikan pembangunan JSS sebagai satu-satunya opsi yang ada. Hal ini
menjadi pertanyaan besar karena tentu masyarakat tidak lupa dengan
berita-berita korupsi yang banyak disiarkan di TV dan media lainnya.
Meninjau manfaat pengembangan KSN
untuk menciptakan kesempatan kerja dari sisi perkapalan, sangat banyak tenaga
kerja yang dapat diserap dengan memajukan industri perkapalan nasional. Untuk
membangun kapal, dibutuhkan banyak industri pendukung seperti industri baja,
industri mesin, industri pompa, industri generator, dan industri komponen
lainnya. Galangan sebagai tempat pembuatan kapal sendiri sangat banyak menyerap
tenaga kerja mulai dari arsitek kapal, buruh, shipbuilding engineer, inspector,
owner surveyor, class surveyor, dll.. Dalam pengoperasiannya, kapal membutuhkan
ABK, karyawan perusahaan pelayaran sebagai operator, dan pihak perhubungan laut
sebagai regulator. Kesimpulannya, dalam pembuatan dan pengoperasian kapal
sangat banyak tenaga kerja yang terserap.
Mengingat Inisiatif Strategis MP3EI
yang pertama, yaitu mendorong realisasi investasi skala besar di 22 kegiatan
ekonomi utama, seharusnya pemerintah mensinergikan pengembangan KSN Selat Sunda
dengan industri perkapalan nasional karena keduanya termasuk dalam kegiatan
ekonomi utama. Perikanan yang juga termasuk dalam kegiatan ekonomi utama juga
dapat maju seiring dengan pengembangan industri perkapalan nasional.
Sesuai dengan visi Indonesia 2025
dalam kerangka desain MP3EI yaitu, Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang
Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur, Indonesia harus mandiri untuk mengeksploitasi
migas lepas pantainya sendiri. Hal ini amat mendesak sebelum semua migas lepas
pantai yang seharusnya menjadi sumber pemasukan negara yang besar habis dibagi
dengan pihak asing. Salah satu caranya adalah dengan pengembangan industri
perkapalan nasional agar dapat mebuat kapal seperti drillship, pipe laying
vessel, FSO, FPSO, FLNG, dan kapal lainnya secara mandiri. Kemajuan teknologi
tersebut diharapkan dapat menunjang tercapainya Indonesia yang makmur.
Pemerintah harus adil dalam memisahkan ranah kerja Teknik Sipil dan Teknik
Perkapalan. Cukuplah jalan tol Trans-Sumatera sepanjang 2700 km dan rencana
jalan tol di pulau lainnya sebagai ranah kerja insinyur sipil dan membiarkan
insinyur perkapalan melakukan tugasnya dalam menghubungkan pulau-pulau
tersebut.
Kapal sebagai Jembatan Pengganti Jembatan Selat Sunda
Sesuai UU no. 17 tahun 2008 pasal
22 ayat 1, angkutan penyeberangan/ kapal merupakan angkutan yang berfungsi
sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan atau jaringan jalur kereta
api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan
beserta muatannya. Jadi, berdasarkan UU ini sebenarnya Indonesia telah memiliki
“jembatan” sebagai penghubung Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Pemerintah seharusnya
sekarang melakukan peremajaan dan pengembangan angkutan laut dalam negeri dan
infrastrukturnya agar menjadi satu
kesatuan sistem transportasi nasional yang baik sesuai UU no. 17 tahun 2008
pasal 9 ayat 1.
Analisis Teknomik Jembatan Selat Sunda
Satu jembatan yang menghubungkan dua pulau, karena concavity
permanen yang terbentuk oleh jembatan ini, hanya akan menguntungkan kawasan
kaki-kaki jembatan saja. Para spekulan tanah dan tuan tanah yang menguasai
kawasan kaki jembatan akan paling diuntungkan.
Solusi ferry modern membentuk concavity yang lentur dan dinamik.
Artinya, sistem layanan penyeberangan (ferry ro-ro dan demaga) dan pelayaran
yang canggih dapat menghubungkan Jawa dan Sumatra di banyak lintasan sehingga
Sumatra secara menyeluruh akan memperoleh manfaat yang jauh lebih besar
daripada JSS yang akan menguntungkan Lampung dan Banten saja. Kondisi jaringan
Trans-Sumatra saat ini yang buruk juga akan mengurangi manfaat JSS bagi
integrasi pasar di Pulau Sumatra.
Bagi penumpang, kapal ferry ini adalah
jembatan sekaligus mobil/ trucknya. Air laut yang tersedia tanpa dibeli, mampu
mendukung beban muatan yang diangkut berapapun banyaknya dengan menggunakan
kapal-kapal dengan desain dan besar armada yang tepat. Air laut bersama sistem
ferry modern yang tepat akan menjadi jembatan penghubung yang very-cost
effective dengan investasi 10% JSS dan dapat disediakan dalam waktu 3-4 tahun
saja.
JSS adalah highly constrained solution
karena JSS merupakan kelanjutan kebijakan transportasi yang keliru saat ini dengan
berat moda-jalan (mobil, sepeda motor, truck, dan bus) individual/ privat yang tidak efisien, polutif, dan meningkatkan
ketergantungan pada BBM. Situasi uni-modality saat ini sudah sangat kritis.
Indonesia akan semakin terjebak dalam single-mode trap berkepanjangan yang hanya
menguntungkan industri mobil yang masih diimpor. JSS justru akan memberi
insentif bagi ketergantungan Indonesia pada moda transport yang buruk ini.
Lebih berbahaya lagi adalah bahwa JSS merupakan highly constrained solution dan
pengalih perhatian publik oleh pemerintah yang telah gagal membangun
pemerintahan yang efektif di laut.
Perbandingan Empirik beberapa Mega Proyek
JSS sebagai teknologi yang melawan
kondisi alamiah Selat Sunda akan harus dibayar dengan mahal yang kemungkinan
besar tidak akan pernah terpikul oleh kapasitas fiskal nasional kita dalam
waktu 10 tahun lebih ke depan. Perkiraan biaya pembangunan JSS yang diumumkan
saat ini adalah 200 triliun rupiah. Berdasarkan pengalaman Jembatan Suramadu
dengan panjang hanya 5 km dan bentang terpanjang sekitar 500 m, biayanya membengkak menjadi 5 triliun
dan waktu pembangunannya molor 1 tahun lebih dengan soft loan dari Cina untuk
bentang tengahnya. Dari pengalaman Jembatan Suramadu ini, biaya JSS dengan
panjang 30 km dapat mencapai 200 triliun rupiah atau lebih karena harus lebih
lebar (6 lajur), lebih tebal (untuk mengakomodasi track kereta api dan bentang
yang jauh lebih panjang), dan pylon (menara) penyangganya yang lebih tinggi,
dan lebih dalam di lingkungan yang secara tektonik dan vulkanik amat aktif.
Hubungan antara panjang, bentang jembatan, dan harga pembangunannya jelas bukan
linier sederhana, namun paling tidak kuadratik, atau bahkan kubik.
Segmen JSS yang terpanjang akan
menuntut bentang suspension bridge yang terlalu panjang (sekitar 3500 m) bagi
teknologi jembatan yang kita kenal secara global saat ini. Salah satu jembatan
terpanjang saat ini adalah Jembatan Akashi-Kaikyo di Jepang yang menghubungkan
Kobe di Pulau Honshu dan Pulau Awaji. Panjang bentangnya 1991 m, panjang total 3911 m, clearance 66 m, dan dibangun selama 12
tahun (1986-1998). Sekarang jembatan ini menampung traffic 23000 mobil/hari
dengan tariff toll mencapai Y 2300 (sekitar Rp. 250.000). Jembatan ini tidak
mengakomodasi kereta api.
Sementara itu, desain JSS harus
mengakomodasi syarat-syarat Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI 1) sebagai
sebuah kesepakatan internasional (United Nation Convention on the Law of the
Sea) yang telah kita ratifikasi. Karena kontur sea-bed yang rumit dengan kedalaman
yang bervariasi dari -40m hingga -80m lebih, peluang terjadinya ground
acceleration hingga 0,3 g akibat gempa tektonik, serta ancaman erupsi vulkanik
Krakatau, maka rancangbangun dan pembangunan JSS akan amat mahal bagi
kemampuan fiskal nasional RI hingga
10-20 tahun ke depan. Sistem keuangan global yang belum stabil, serta harga
baja dan beton yang dapat dipastikan akan terus naik, akan meningkatkan
kerentanan pembiayaan JSS dari ancaman financial shocks selama masa
konstruksinya yang diperkirakan selama 10 tahun.
Sementara itu, Jembatan Messina yang
menghubungkan mainland Italia (Calabria) dengan Messina di pulau Sicilia
dibatalkan pembangunannya pada tahun 2006
setelah terjadi debat dan kontroversi bertahun-tahun antara pemerintah,
parlemen, dan masyarakat mainland Italia maupun kelompok-kelompok nasionalis
Sicilia. Bentang tengah jembatan ini
3300 m, clearance 65 m, dan tinggi pylon mencapai 383 m. Biaya yang
direncanakan adalah sebesar 6,1 milyar euro, atau sekitar 70 triliun rupiah. Pemerintah Italia (sebelum PM Berlusconni)
membatalkan rencana ini karena memandang perbaikan prasarana jalan di P.
Sisilia sendiri jauh lebih bermanfaat bagi ekonomi regional Italia.
Banyak proyek-proyek besar di
negara-negara maju dan kaya (dengan disiplin waktu dan kapasitas fiskal yang
jauh lebih baik dari Indonesia) selalu berakhir dengan cost-over run dan
keterlambatan. Contohnya adalah terowongan Eropa (Eurotunnel) yang
menghubungkan Dover-Calais di bawah English Channel dengan panjang 50 km yang
diselesaikan dalam waktu 8 tahun (1986-1994) membengkak biayanya hampir 2 kali
lipat dengan manfaat ekonomi regionalnya yang terbatas, terutama bagi Inggris.
Bahkan dilaporkan kondisi Inggris akan jauh lebih baik saat ini jika terowongan
tersebut tidak pernah dibangun. Investor-Operator terowongan yang bekerja
dengan pola BOOT (Build-Own-Operate-Transfer) mengalami kerugian dan hampir
bangkrut karena proyeksi traffic tidak seperti yang diramalkan dan beberapa
kali terowongan ditutup akibat kebakaran di dalam terowongan. Dampak lingkungan
terowongan ini juga terbukti negatif.
Perbandingan Benefit dan Cost
Di tingkat teknomik, JSS inferiror
dibandingkan dengan sistem ferry modern. Solusi ferry modern memberikan benefit/cost
ratio yang paling baik, terutama menghindarkan Indonesia dari jebakan uni-modaliity
yang tidak efisien, polutif, serta privat sehingga secara umum tidak
sustainable. Dapat dilihat bahwa paradigma kepulauan membuka sebuah relaxed
design solution yang lebih cost-effective berupa armada dan dermaga ferry modern dengan beban pembiayaan yang
lebih ringan dan adil bagi mayoritas daerah di Indonesia. Secara topologi,
solusi sistem ferry membentuk ruang Jawa-Sumatra yang lebih compact dan well-connected. Sebagai perbandingan, sistem ferry Yunani
untuk kawasan Agean Sea sangat luar biasa untuk ekonomi dan pariwisata Yunani.
Pariwisata Selat Sunda akan terbangun baik dengan sistem ferry modern, bukan
dengan JSS.
Dari analisis kualitatif dan konseptual di atas, dapat disajikan
sebuah tabel perbandingan atas berbagai solusi untuk menghubungkan Pulau Jawa
dan Pulau Sumatera sebagai berikut:
Kesimpulan
dan Penutup
Solusi JSS dengan demikian merupakan
solusi yang tidak layak. Anggaran yang tersedia dari kapasitas fiskal yang
terbatas dapat dipakai untuk meningkatkan cakupan dan mutu Trans-Sumatra
sehingga integrasi pasar domestik di Sumatra dapat diwujudkan dengan biaya yang
jauh lebih murah, terutama yang berbasis kereta api hingga ke pelabuhan.
Pengembangan infrastruktur serupa bagi Pulau Jawa akan memberikan dampak
ekonomi regional yang amat signifikan.
Kebijakan yang dihasilkan dari cara
pandang benua/pulau besar yang tidak bersahabat dengan taqdir alamiah kita
sebagai negara kepulauan akan berpotensi selalu memaksakan solusi moda-tunggal
jembatan untuk Indonesia yang merupakan negara kepulauan ini. Yang paling
diuntungkan dengan solusi jembatan adalah para spekulan dan tuan tanah yang
menguasai lahan di kawasan kaki-kaki jembatan. Jika cara pandang ini dipertahankan
terus, dikhawatirkan bahwa agenda untuk mempromosikan infrastruktur multi-moda
dengan membangun pemerintahan di laut yang efektif akan semakin terbelakangkan.
Dengan kondisi uni-modality yang semakin kritis saat ini, dan sumberdaya kelautan
yang terbengkalai, kita tidak saja tidak memiliki masa depan, keutuhan negara-bangsa ini pun juga
dipertaruhkan.
Kita sebagai bangsa harus melakukan
perubahan paradigma pembangunan nasional, dari land-based socio-economic
development menjadi ocean-based socio-economic development. Dalam rangka
merealisasikan misi ini, maka diperlukan kebijakan terobosan, yaikni dengan
memposisikan pembangunan kelautan sebagai platform pembangunan ekonomi bangsa.
Ini bukan berarti kita melupakan pembangunan di darat. Kita justru secara
sinergis dan proporsional mengintegrasikan pembangunan sosial-ekonomi di darat
dan di laut.
Kebijakan nasional ini mengandung arti
bahwa segenap variabel politik-ekonomi dan budaya bangsa berupa kebijakan
fiskal, moneter, perdagangan internasional, perpajakan, industri,
ketenagakerjaan, infrastruktur, pendidikan dan kebudayaan, IPTEK, tata ruang,
keamanan, penegakan hukum, dan lainnya harus secara sinergis dan total
mendukung bagi tumbuh kembangnya sektor-sektor pembangunan kelautan.
Jika kita mampu melaksanakan
pembangunan kelautan sebagai platform pembangunan ekonomi bangsa, ada harapan
bagi Indonesia untuk menjadi negara yang maju, adil-makmur, bermartabat, dan
diridhoi Allah SWT. Sebuah Indonesia yang seluruh rakyatnya bebas dari
kelaparan, kebodohan, penyakit jasmani maupun rohani, dan rasa takut; sehingga
kita hidup dalam suasana yang aman, damai, dan sejahtera.
Teknologi JSS di adopsi dari Jembatan Akashi-Kaikyo
Jembatan Selat Sunda rencananya akan
mengadopsi teknologi jembatan gantung terpanjang yang ada di dunia. Saat ini
rekor jembatan gantung terpanjang di dunia dipegang oleh Jembatan Akashi-Kaikyo
di Jepang.
Kesamaan konsep tersebut adalah kedua jembatan tersebut dibangun di daerah rawan gempa dan lautan yang memiliki palung dalam. Jembatan Akashi-Kaikyo memiliki panjang bentang utama 1,991 kilometer dan tahan pada gempa 8,5 skala richter.
Sedangkan Jembatan Selat Sunda yang rencananya memiliki bentang utama sepanjang 2,2 kilometer menurut kajian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi akan dibangun di atas sesar aktif yang geserannya 7 milimeter per tahun. Ada potensi gempa hingga 8,6 skala richter.
proyek ini harus melakukan surfei geofisika terlebih dahulu untuk mengetahui apakah di dasar laut tersebut pernah terjadi retakan atau tidak. Hal ini untuk menentukan kedalaman pembangunan sub-struktur yang panjangnya antara 500 meter sampai 1.000 meter di bawah permukaan laut.
Selain sub-struktur, penggarap proyek, juga harus bisa mengadopsi teknologi supra-strukturnya. Yaitu menggunakan konsep suspension bridge atau jembatan gantung yang mampu menahan dari tiupan angin kencang hingga kecepatan maksimum 286 kilometer per jam.
Pembangunan jembatan ini nantinya akan melewati beberapa pulau sepanjang Jawa-Sumatera yaitu Pulau Kandang Lumuk, Pulau Prajurit, Pulau Sangiang dan Pulau Ular.
Teknologi Delta Qualstone S.K.125
Kesamaan konsep tersebut adalah kedua jembatan tersebut dibangun di daerah rawan gempa dan lautan yang memiliki palung dalam. Jembatan Akashi-Kaikyo memiliki panjang bentang utama 1,991 kilometer dan tahan pada gempa 8,5 skala richter.
Sedangkan Jembatan Selat Sunda yang rencananya memiliki bentang utama sepanjang 2,2 kilometer menurut kajian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi akan dibangun di atas sesar aktif yang geserannya 7 milimeter per tahun. Ada potensi gempa hingga 8,6 skala richter.
proyek ini harus melakukan surfei geofisika terlebih dahulu untuk mengetahui apakah di dasar laut tersebut pernah terjadi retakan atau tidak. Hal ini untuk menentukan kedalaman pembangunan sub-struktur yang panjangnya antara 500 meter sampai 1.000 meter di bawah permukaan laut.
Selain sub-struktur, penggarap proyek, juga harus bisa mengadopsi teknologi supra-strukturnya. Yaitu menggunakan konsep suspension bridge atau jembatan gantung yang mampu menahan dari tiupan angin kencang hingga kecepatan maksimum 286 kilometer per jam.
Pembangunan jembatan ini nantinya akan melewati beberapa pulau sepanjang Jawa-Sumatera yaitu Pulau Kandang Lumuk, Pulau Prajurit, Pulau Sangiang dan Pulau Ular.
Teknologi Delta Qualstone S.K.125
Teknologi Delta Qualstone S.K.125. Karya putra
terbaik bangsa ini telah diuji di Balai Besar Pengujian Barang dan Bahan Teknik
(B4T) Bandung, terdaftar di Business Technology Center - Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BTC-BPPT), serta telah memiliki sertifikat Hak Paten.
Teknologi Delta Qualstone
- Bahannya beton cor.
- Elastis dan bisa menahan gempa.
- Sangat kuat.
- Penggunaannya tidak membutuhkan perekat, tinggal menumpuk saja.
- Setelah terpasang tinggal plester.
- Bentuknya unik, beban akan terdistribusi dengan sempurna.
- Tulangan hanya untuk beberapa tipe penyangga (misal u/ balok dan kolom) dan beberapa tipe pengembangan.
Teknologi Delta Qualstone Toleransi gempa
hingga 9 skala richter
Mengapa Teknologi
Delta qualstone S.K.125 disebut-sebut sebagai teknologi yang bisa beradaptasi
pada getaran gempa hingga 9 skala richter? Menurut penemunya, beton cetak
produk teknologi ini per piece-nya memiliki berat ± 3,85 kg dan kuat tekan 125
kg/cm³. Jadi bila dibandingkan dengan produk bahan bangunan sejenis semisal
batubata merah dan batako, bahan bangunan ini memiliki kekuatan tekan sangat
tinggi. Keunggulan teknis lainnya, produk teknologi ini apabila telah tersusun
akan menciptakan beban nol atau seimbang menjadi merata. Dari hasil riset
sementara ini, bangunan dari bahan beton ini juga memiliki kemampuan untuk
bertahan dari guncangan gempa karena di antara ikatan (pertemuan batu) satu
sama lain memiliki toleransi ± 2 mm yang memang disiapkan sebagai antisipasi
terhadap getaran. Bagi daerah-daerah jauh dari pusat (episentrum) gempa, dapat
menggunakan beton standar K.125. Namun untuk daerah-daerah rawan gempa, pemilik
lisensi menganjurkan menggunakan K.225 ke atas.
Kekurangan Teknologi Delta Qualstone
Teknologi ini belum begitu di lirik oleh
pemerintah. Jadi untuk merealisasikannya masih belum bias karena terkendala
dana untuk mewujudkannya.
Pembangunan Jembatan Selat Sunda rencananya
akan menggunakan teknologi yang memperhitungkan semua parameter yang perlu
dipenuhi. Setidaknya pemeriksaan ini akan mencakup pengumpulan data dalam radius
500 kilometer dari tempat jembatan itu berdiri.
Tinjauan itu antara lain berbagai sesar (patahan aktif) yang terdapat di Jawa dan Sumatra, terutama di sekitar Bukit Barisan. Termasuk menghitung sumber gempa dari Selat Sunda dan Gunung Krakatau itu sendiri.
Tinjauan itu antara lain berbagai sesar (patahan aktif) yang terdapat di Jawa dan Sumatra, terutama di sekitar Bukit Barisan. Termasuk menghitung sumber gempa dari Selat Sunda dan Gunung Krakatau itu sendiri.
Kesimpulan
Jadi untuk teknologi Qualstone S.K.125 masih
belum di tes jika ada gempa sebesar +-9 skala richter, jadi terlalu beresiko
jika cara itu di terapkan langsung pada Jembatan Selat Sunda.
Daftar
Pustaka
Jembatan Selat Sunda dan Kepentingan
Nasional Ir. Purba Robert Sianipar, MSCE, MSEM, Ph.D.
UU no. 17 tahun 2008
No comments:
Post a Comment