Mendengar sebuah proyek
pembangunan infrastruktur bernilai
triliunan rupiah tentulah menjadi sebuah kebanggan tersendiri bagi kita.
Disamping pembangunan tersebut merupakan salah satu bentuk usaha menjadikan
Indonesia menjadi lebih baik dan sejahtera, jumlah yang sedemikian fantastis
semestinya mampu mebuat kita berangan-angan akan manfaat dari pembangunan
tersebut. Namun, disamping kebanggaan dan harapan disana juga timbul seuah
kekhawatiran. Penggunaan dana yang sedemikian besar sudah pasti memerlukan
pertimbangan yang sangat matang. Demikianlah gambaran masyarakat indonisa
mengenai pembangunan “Jembatan Selat Sunda”. Sebuah megaproyek pembangunan yang
telah tercantum dalam renstra Indonesia dalam membangun perekonomian yang kuat
demi tecapainya masyarakat indonesia yang sejahtera.
Tercantum dalam MP3EI (Master
Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi
Indonesia), JSS merupakan sebuah opsi yang diambil pemerintah guna menciptakan
kawasan strategis nasional guna membangun konektifitas antara Sumatera dan
Jawa. Diharapkan melalui proyek ini kawasan sumatera bisa memiliki kegiatan
perekonomian yang lebih maju dan efisien. Disisi lain, pulau jawa yang
merupakan pusat aktivitas perekonomian dan pusat pertumbuhan penduduk yang
paling pesat mampu didukung dengan adanya jembatan ini. Sehingga kedua kawasan
ini mampu mengisi kekurangan masing-masing dan berkembang bersama.
Seiring perjalanannya,
perencanaan pembangunan Jembatan Selat Sunda Mendapat berbagai macam respon dan
komentar. Sebagian berpendapat bahwa pembangunan jembatan selat sunda mampu
menjadi pengantar indonesia menjadi negara dengan perekonoian yang baik. JSS
juga dianggap sebagai salah satu sarana untuk menjawab permasalahan persebaran
penduduk dan masalah logistik nasional.
Namun, sebagian lagi beranggapan
bahwa pembangunan JSS tidaklah tepat. Pembangunan JSS dianggap semakin membuat
indonesia terjebak dalam ketergantungan masyarakat menggunakan kendaraan
pribadi. Harga mobil yang semakin terjangkau oleh masyarakat dikarenakan segala
fasilitas pemerintah terhadap produsen tidak berbanding lurus dengan pengadaan
transportasi massal yang memadai dan sesuai standar. Pembangunan JSS seakan
mencerminkan pembunuhan terhadap perkembangan transportasi massal yang
sejatinya mampu menjadi solusi dari berbagai permasalahan yang saat ini
dihadapi oleh berbagai kota di Indonesia.
Uang 200 T yang sejatinya akan
digunakan oleh pemerintah bersama koleganya akan sangat bermanfaat ketika
digunakan pada pembangunan infrastruktur trans sumatera dan pengadaan
transportasi masal. Sehingga kegiatan perekonomian di Sumatera serta pelabuhan
merak-bakaheuni yang menjadi akses keluar-masuk barang dapat terfasilitasi dan
berjalan dengan semestinya.
Jembatan Selat Sunda dan Paradigma Benua
Dalam presentasinya, Prof. Daniel
M Rosyid memaparkan perbandingan menggunakan jembatan dengan pengadaan ferry
berkapasitas besar dan termutakhir guna menjadi penguhubung antara
Jawa-Sumatera. Dalam pemaparannya pengadaan ferry termutakhir hanya
menghabiskan dana sekitar 20 T saja dengan waktu pengadaan sekitar 3 tahun.
Sedangkan untuk pengadaan jembatan, kita harus mengahabiskan dana sekitar 200 T
dengan waktu pembangunan sekitar 10 tahun. Ditambah lagi dengan berbagai macam
faktor yang sangat sering terjadi sehingga terjadi kemoloran dan penambahan
biaya. Beliau juga memaparkan bahwa dampak ketika pembangunan jembatan tersebut
menggunakan APBN maka orang-orang di wilayah timur indonesia akan semakin
cemburu dan menuntut pembebasan diri dari Indonesia. Adapun jika pengadaan
jembatan ini menggunakan swasta sebagai
pembiayaannya maka dipastikan mereka akan meminta lahan di sekitar pembangunan
jembatan untuk mengembangkannya menjadi kawasan industri.
Selain itu, pengadaan JSS menurut
beliau adalah sebuah sikap perlawanan terhadap alam yang sangat berlebihan.
Laut yang sejatinya merupakan jembatan alamiah yang dianugrahkan pencipta
kepada Indonesia semakin ditinggalkan. Keberadaan indonesia sebagai negara
kepulauan semakin menghilang. Pemerintah seakan memaksakan paradigma
Kontinental kepada Indoneisa. Dimana hal tersebut tentu sangat merugikan karena
menutup perkembangan ekonomi maritim yang sangat menjanjikan.
Terlebih lagi pembangunan
jembatan sebagai penguhubung antar pulau membuat kecekungan (concavity) semakin besar. Jembatan
bukan lah penghubung antar pulau. Jembatan sangat efektif ketika digunakan
dalam menghubungkan wilayah yang tidak di anugerahi air sebagai pemisahnya.
Maksimalnya, jembatan akan sangat efektif dalam menghubungkan wilayah-wilayah
yang dipisahkan oleh sungau kecil, tebing, jurang dan sebagainya. Pembangunan
pelabuhan dan transportasi laut lah yang seharusnya menjadi penghubung antara
pulau. Selain kecekungan yang diciptakan tidak terlalu besar, moda transportasi
laut sangatlah fleksibel dalam menanggulangi gempa, tsunami, cuaca, angin
kencang dan ombak yang terjadi di Selat Sunda. Sebagaimana yang diakutkan bapak
Amien Widodo salah satu pakar geologi dan bencana ITS tentang potensi tsunami
dan gempa tektonik maupun vulkanik yang sangat besar.
Kesimpulan
Pembangunan Jembatan Selat Sunda
sebagai sarana menjadikan lampung dan Banten sebagai kawasan yang terintegrasi
tidaklah tepat. Disamping hanya menguntungkan beberapa pihak saja seperti
produsen otomotif dan properti, pembiayaan pemeliharaan Jembatan juga tidaklah
sedikit. Dengan kondisi pemerintahan yang seperti saat ini ditambah dengan
kondisi perekonomian dunia yang sangat tidak menentu, pembangunan JSS semakin dipertanyakan resiko
dan keuntungannya. Membangun infrastruktur jalan trans Sumatera serta
revitalisasi pelabuhan merak dan bakaheuni menjadi lebih menjanjikan dan sangat
hemat. Pemerintah seakan sengaja meniadakan opsi tersebut.
Terakhir, pemerintah diharapkan
mengadakan public discussion yang
cukup antara seluruh elemen masyarakat dalam mengambil keputusan yang
melibatkan kepentingan orang banyak ini.
-dari saudara saya Fajri Ketua Himatekpal 2013-2014
No comments:
Post a Comment